UNINSTALL INSTAGRAM. Kenapa?

Instagram adalah salah satu media sosial yang sangat digandrungi di era ini. Nganggur dikit, buka instagram. Bosen dikit, buka instagram. Break nugas, buka instagram. Apa-apa instagram. Tapi kenapa aku malah uninstall? Jadi begini...

Dua bulan terakhir aku merasa kalau aku sedang dititik yang cukup melelahkan dan rendah dalam hidup. Banyak faktor yang memengaruhi hal itu. Mulai dari diri sendiri hingga lingkungan sekitar. Pokoknya banyak deh dan itu bikin frustasi banget. Terus aku tanya dong ke temanku yang psikologi, bener apa enggak sih ini yang namanya quarter-life-crisis? Katanya benar. Jadi begini ya rasanya quarter-life-crisis...

Hal ini dimulai dari ranah keluarga dimana ada beberapa hal yang menjadi masalah. Bukan aku sih yang bermasalah, ya tapi ada lah dan itu membuat ibuku sering kepikiran. Namanya juga ibu, curhatnya ke siapa lagi kalau bukan ke anak ceweknya? Ya mau nggak mau aku ikutan kepikiran dong. Sehingga hal ini kadang mengganggu pikiranku ketika aku mulai mengerjakan kepentingan akademik dan organisasiku. Otomatis produktivitasku sebagai mahasiswa mulai menurun.

Selain itu, aku menyadari bahwa teman-teman di peer group-ku itu toxic. Ya, sebenernya udah dari lama sih aku menyadari itu. Tapi kayak sebelumnya itu aku masih bisa berbaur dan menyesuaikan meskipun kadang dalam hati mengumpat "kok gini banget sih". Beberapa bulan terakhir aja aku baru merasakan yang benar-benar toxic dan yaa gitu deh. Pokoknya toxic aja gitu. Kalau aku jelaskan secara rinci nanti aku buka aib teman dong? Oh iya, pendapat bahwa mereka toxic ini sudah aku coba minta pendapat orang lain tanpa melebihkan atau mengurangi cerita dan mereka sependapat denganku.

Kalau boleh jujur, aku juga nggak mau jadi orang -yang dari sekian banyak temanku di peer group yang sama- yang harus mengetahui ini secara langsung dan jelas di depan mataku. Tapi aku nggak tahu sih, mungkin saja yang lain juga tahu dan menyadari tapi mereka terlalu naif untuk mengakui itu. Tapi karena aku tipe orang yang 'kalau nggak cocok dan nggak membawa kemajuan ya tinggalin aja' jadi ya gitu hehe. Tapi nggak semua dari mereka toxic kok, ada yang asli baik banget dan enak diajak diskusi atau dimintai pendapat tanpa mengintervensi dan menghakimi pilihanku. Kalau nggak setuju, beberapa orang ini akan memberi tahu aku dengan baik tanpa menyudutkan pilihanku. Tapi sayangnya, beberapa orang ini menurutku bukan orang yang tepat untuk menjadi pendengarku, hehe. Jadi aku saat itu nggak tahu harus cerita ke siapa tentang kesehatan mentalku yang agak terganggu oleh frustasi. Untungnya ada temanku yang jurusan psikologi dan memberi aku masukan yang sangat membantu dengan cara yang aku harapkan, terus ada satu lagi teman yang bisa menjadi pendengar yang sangat baik.

Frustasiku ini sendiri disebabkan oleh hal lain juga, selain dua alasan di atas. Nah, ini menjadi alasanku menarik diri dari instagram dan line.

Jadi menurutku instagram itu benar-benar media sosial yang menguji mental banget. Semua orang melakukan pencitraan. Semua orang pamer. Semua orang memperlihatkan kebahagiaan, kesuksesan dan pencapaian-pencapaian baik lainnya. Parahnya, itu dilakukan oleh teman-temanku sendiri. Aku juga nggak berekspektasi kalau di instagram mereka bisa berbeda 180 derajat dari realita. Semua orang melakukan pencitraan dan terlihat bahagia. Pada akhirnya, mau nggak mau hal ini juga memengaruhiku untuk melakukan hal yang sama, pencitraan dan pamer. Hingga suatu ketika, aku merasa semua orang sedang sukses dan bahagia di instagram, aku juga ingin menunjukkan itu, tapi aku nggak punya bahan untuk membalas pencitraan mereka. Jujur saja, hal ini mengganggu pikiranku.

Pernah nggak sih, kalian merasa kayak 'kok dia enak banget liburan terus' atau 'yaampun enak banget ya jadi dia kayak semuanya dimudahkan gitu' atau pemikiran-pemikiran serupa? Nah, pada saat itu aku -yang tadinya bodo amat dan menjadikan hal semacam itu sebagai motivasi- tiba-tiba menjadi pesimis dan tertekan melihat kesuksesan dan kebahagiaan orang lain. Jadi berpikir bahwa hidupku kok gini amat. Oke, pasti setelah ini akan banyak yang bilang 'yaelah kurang bersyukur' atau 'makanya mendekatkan diri sama Tuhan sama agama' atau sejenisnya. Dude, bahkan tanpa aku merasa frustasi pun aku akan melakukan ibadah dan selalu mencari celah untuk bisa bersyukur. Tapi entah saat itu nasehat semacam itu justru membuatku lebih tertekan. Untung aja aku nggak kepikiran melakukan hal-hal diluar nalar. Logikaku masih berfungsi dengan sangat baik.

Sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk menghapus aplikasi instagram dari handphone-ku. Lalu apa yang terjadi? Hal-hal yang aku hindari dari instagram justru dibawa dan dibahas di grup line. Akhirnya aku memutuskan untuk manghapus aplikasi line sekalian. Jadi, aku hanya mengakses line dari laptop saja. Lalu apa yang terjadi? Apakah aku lebih baik tanpa aplikasi instagram dan line? Ya, aku merasa lebih baik. Serius.

Aku bertahan hingga dua puluh hari tanpa instagram, aku hanya mengakses ketika benar-benar butuh. Itupun lewat laptop. Memang banyak hal yang aku nggak tahu. Teman ada yang udah sidang nggak tahu, teman ada yang mau nikah nggak tahu, sampai teman ada yang memberi kabar penting melalui DM instagram pun aku nggak tahu. Maaf ya, hehe. Tapi apa? Aku merasa lebih baik dengan tidak mengetahui itu semua.

Lalu, apa aku menyesal? Jujur saja, tidak. Selama aku tanpa instagram dan line, aku lebih aktif di twitter. Sangat berbeda dengan instagram, di twitter aku justru mendapatkan sedikit ketenangan karena ternyata di twitter banyak orang yang sedang berada di posisi yang sama denganku. Kita saling berbagi cerita, padahal kita sama-sama orang asing. Aku nggak mendapatkan kepedulian seperti ini ketika sempat mencoba berkeluh kesah di instagram story yang hanya aku bagi dengan 'teman dekat' di instagram. Ternyata yang aku anggap teman dekat malah tidak ada yang peduli. Jadi rasanya keputusanku untuk jalan-jalan di twitter lagi adalah tepat. Di twitter juga aku menemukan banyak orang yang aware dengan mental health dan saling memberikan semangat dengan cara yang baik, menurutku.

Selain karena itu, di twitter orang lebih berbicara tentang realita di kehidupan. Seriously, aku nggak nemu satu orang pun yang melakukan pencitraan, kecuali tokoh politik HEHEHE. Bahkan mereka nggak segan untuk membagi pengalaman memalukan mereka. Twitter juga menambah pengetahuanku tentang banyak hal. Mulai dari politik, isu sosial, humanity bahkan sampai bidang pendidikan. Lebih mengagumkannya lagi, nggak ada tuh yang nyinyir tentang pembahasan tersebut kayak di kolom komentar instagram yang sering aku temui. Malah di kolom reply-nya banyak yang menanggapi dengan diskusi lebih mendalam dengan cara yang sehat. Beda banget deh pokoknya sama instagram.

Jadi ya begitu lah alasanku memutuskan untuk menghapus aplikasi instagram dan line, untuk mendapatkan innerpeace dihati dan pikiran, biar bisa fokus ke skripsi, hehe.

Pesan untuk teman-teman, jika sedang mengalami hal yang sama, lebih baik cari teman yang bisa menjadi pendengar yang baik ya. Terus kalau belum parah-parah banget coba dicari permasalahan yang membuat frustasi, kalau sudah ketemu hindari hal yang menjadi penyebab frustasinya. Cerita ke orang itu penting banget, tapi pilihlah yang menurutmu benar-benar bisa mendengarmu tanpa menghakimi atau menyudutkanmu. Kalau nggak ada, bisa langsung ke psikiater mungkin. Tenang aja, ke psikiater bukan berarti gangguan jiwa kok. Itu wujud dari kecintaan terhadap diri sendiri dan orang di sekitar aja. Love yourself, ya! Terima kasih sudah membaca.


With love,
Sajak Sang Pena

Comments