TENTANG #JusticeforAudrey, AKU DAN BULLYING : dari sudut pandang korban bully.

Apa yang teman-teman pikirkan tentang #JusticeforAudrey? Sedih? Miris? Bingung? Atau janggal? Jujur saja, sejak awal aku membaca berita ini dari salah satu thread di twitter, aku langsung triggered dengan adanya kasus ini. Gimana enggak, di situ diceritakan bahwa kronologi kejadiannya sangat tragis dan masalahnya hanya karena cowok. Udah gitu KPPAD setempat kabarnya mengharapkan kasus ini berujung damai lagi. Aduh. Otomatis jiwa korban bully-ku berteriak untuk membela korban dan menolak harapan KPPAD dong. Gila aja.

Tapi, beberapa hari kemudian salah seorang reporter salah satu media juga membuat thread mengenai wawancaranya di TKP dengan pihak-pihak terkait. Dia menjelaskan bahwa kejadiannya ternyata tidak setragis yang dikabarkan sebelumnya. KPPAD juga mengonfirmasi bahwa meskipun mereka menginginkan damai, tapi jika pihak terkait ingin tetap ditindak lanjut sesuai aturan yang berlaku ya tetap didampingi sampai tuntas. Gitu. Jadi gimana tuh? Makin bingung nggak? Huhu...

Meskipun kejadian yang diberitakan telah didramatisir sana sini, tapi tindak kekerasan itu tetap ada dan aku tidak membenarkan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku. Apapun itu, bullying secara fisik maupun verbal tetaplah salah. Sebagian besar orang tentunya mengecam hal ini, apalagi pelaku masih bisa haha hihi tanpa rasa bersalah sekalipun di kantor polisi. Barbarian sekali ya kalian ini. Huh. Tapi, cara warganet memberikan sanksi sosial pada mereka kurasa juga sudah keterlaluan karena sampai kata kotor dan kasar keluar semua, sampai menyuruh mereka bunuh diri, kalau beneran bunuh diri gimana tuh? Nggak gitu, guys, nggak gitu :')

Kurasa dengan tersebarnya berita ini di seluruh antero negeri dan media sosial mereka tersebar dimana-mana sebagai jejak digital sudah akan memberikan mereka kesulitan di masa depan, lho... Rasanya sanksi ini akan membuat efek jera juga kok karena jejak digital tidak akan bisa hilang dan akan terus menghantui mereka. Padahal bisa saja suatu saat mereka mau memperbaiki diri. Meskipun mereka terlihat haha hihi di media sosial, belum tentu mental mereka tidak terguncang dengan sikap warganet. Ingat kan quotes ini : "yang tidak dipublikasikan di media sosial, bukan berarti tidak terjadi"?. Jangan balas bully dengan bully juga. Rantai setan ini nggak akan putus jika terus seperti itu. Biarkan petugas mengumpulkan bukti dulu, orang yang berwenang menangani semampu mereka, jika semua sudah terbukti dan tidak adil, itu lah saatnya kita kembali mengecam.

Daripada menghujat pelaku dan sebel sendiri karena pelaku tetap haha hihi, mending disebar aja dan nulis opini di thread twitter atau instastory di instagra, Memang terkesan panjat sosial sih, tapi daripada bully balik pelaku kan jahat juga. Jangan memberi makan ego kalian yang bisa menghancurkan kalian juga. Ingat, jejak digital komentar kasar kalian ke pelaku juga tidak bisa hilang. lho :)

Oke, kayaknya itu aja tentang kasus itu ya. Sekarang aku mau cerita tentang diriku, hehe. Aku tertarik untuk menulis ini karena aku sebagai korban bully saat remaja sedikit banyak bisa relate. Meskipun mungkin bully yang aku terima tidak separah yang dialami Audrey. Aku yang nggak separah itu aja sampai sekarang masih membekas, apalagi Audrey yang 'katanya' separah itu. So, let me share about it.

Jadi semasa SMA, aku sempat mendapatkan bully yang hmm mungkin bagi orang lain biasa saja, tapi bagiku yang nggak suka terusik itu cukup membuat tertekan waktu itu. Aku di masa SMA adalah salah satu siswa yang baik dan bisa dibilang cukup teladan. Aku selalu masuk 3 besar dan menjadi kebanggaan beberapa guru. Aku selalu mengerjakan tugas sendiri dan kadang bekerja sama dengan teman-temanku yang bisa diajak kerja sama ketika kelas 1 SMA. Masih baik-baik saja kala itu. Tapi ketika naik ke kelas 2, ini lah awal mula kisah itu terjadi. Aku mengerjakan tugas sendiri, hanya ada satu atau dua teman yang kadang bisa diajak kerja sama. Lainnya? Ya nyontek lah cuy. Ke siapa? Ya ke aku lah, cuy.

Aku merasa dan paham bahwa yang mereka lakukan adalah bully, kenapa? Karena demi Tuhan aku sering merasa nggak rela ketika jadi sumber contekan orang sekelas, apalagi kalau nilaiku kadang di bawah orang yang nyontek ini. Asli kesel banget. Tapi aku cuma diam karena guru tahu bagaimana aku yang sering menjawab pertanyaan yang mereka berikan dengan sangat tepat. Itu baru satu. Bully yang menurutku paling parah adalah ketika aku satu-satunya yang disalahkan karena mengurus salah satu kesepakatan kelas. Padahal semuanya sudah atas kesepakatan bersama, dan aku bukan satu-satunya yang mengurus program itu. Aku dicaci maki karena hasil yang kita terima tidak sesuai ekspektasi dan tidak sesuai yang dijanjikan pihak yang bersangkutan. Aku dimaki secara verbal, bahkan ketika jam pelajaran sedang berlangsung dan aku berusaha menjawab pertanyaan dari guru, mulut mereka tetap memaki aku. Bahkan sikap guru yang berusaha menenangkan tidak mempan untuk mereka.

Jujur saja, aku lebih baik tidak ditemani dan didiamkan daripada harus menerima makian itu setiap hari. Setelah satu minggu kejadian itu, aku sudah tidak tahan. Bully itu tidak hanya aku terima ketika di sekolah, tapi juga mereka meneror lewat SMS, BBM bahkan menyindir lewat status di facebook yang membuat aku tidak berani membuka platform-platform tersebut. Membuat aku takut bertemu orang-orang yang ada di sekolah itu. Aku juga sempat bolos sekolah selama seminggu karena takut, yang menimbulkan beberapa kali perdebatan dengan orang tuaku karena aku minta pindah sekolah. Yup, saat itu orang tuaku berpikir bahwa hal itu normal karena emosi sesaat dan lama-lama pasti akan berlalu. Sampai aku harus memohon dengan segala tangis untuk bisa pindah sekolah. Hal itu benar-benar membuat aku tertekan.

Tidak berhenti sampai di situ. Ketika mereka mengatahui berita kalau aku pindah sekolah, mereka masih tetap melakukan teror melalui BBM, SMS dan facebook. Bahkan lebih parah sampai aku merasa tidak perlu lagi untuk hidup. Meski sudah pindah sekolah, aku masih memiliki rasa takut ketika akan berangkat atau pulang sekolah. Takut kalau aku bertemu di jalan dan mereka berencana mencelakakan aku, melabrak aku di tengah jalan, memaki aku di jalanan atau mendatangi rumahku untuk melabrakku. Karena saat itu mereka memang barbar. Pokoknya rasa takut itu sangat menghantui aku. Untungnya, dukungan dari beberapa teman terdekatku dan keluargaku saat itu berhasil membuatku merasa aman dan merasa layak untuk hidup yang lebih baik. Hingga aku bisa sampai sekarang ini.

Sampai saat ini, kejadian itu membuatku takut berhubungan intens dengan siapapun. Bisa dihitung jari tangan kok orang-orang yang menurutku cukup intens denganku saat ini. Saat ini pun aku sedang dalam tahap menjauh secara perlahan dari lingkaran pertemanan yang juga sering melakukan bully dan cukup toxic untuk dijadikan temanku. Aku hanya tidak mau berada di lingkaran yang sama, yang menurutku berpotensi melakukan bully padaku. Aku tidak mau lagi. Aku takut. Bahkan untuk mengingatkan mereka bahwa yang mereka lakukan adalah bully dan kadang mengarah ke sexual harrassment saja aku takut. Aku takut jika aku yang diserang karena menganggap itu tidak normal, sementara bagi mereka normal dan wajar. Aku takut. Masih sangat takut.

Itu lah mengapa aku selalu triggered dengan hal-hal yang berbau bully. Bahkan ketika sepupuku yang masih SMP dilabrak kakak kelasnya, aku suruh dia melawan meskipun dia tetap saja tidak berani karena dia anak yang baik dan patuh aturan. Aku miris mengetahui bahwa setelah bertahun-tahun kejadian yang menimpaku masih dianggap wajar dan normal hingga sekarang. Bahkan makin menjamur. Seharusnya, sekolah dan lembaga pendidikan lainnya concern terhadap hal ini, bukannya mewajarkan dan menganggap itu normal. Sungguh, hal ini akan menganggu kesehatan mental korban, bahkan hingga dewasa dihantui rasa takut dan was-was. Takut jika hal itu terulang pada orang-orang sekitar korban, terlebih jika terjadi pada orang yang disayangi korban. Itu akan menjadi siklus yang terulang.

So, mari kita mulai dari langkah kecil kita untuk tidak mewajarkan bully sekecil apapun, untuk meningkatkan awareness di lingkungan kita bahwa bully itu bahaya, untuk merangkul mereka yang bercerita bahwa mereka sedang dibully. Kita bisa memaafkan dan berdamai dengan masa lalu, tapi melupakan hal yang menyakitkan itu tidak mudah. Jangan biarkan rantai ini terus memanjang, ayo kita putus rantai setan ini. Mulai dari kita.

Image source : miifotos.com


Tertanda,
mantan korban bully di masa remaja.

Comments