Patah Hati Sejak Bayi


"My smile will always be broken, but I'll always be grateful for the chance to get to do what I get to do." -Trent Franks


Setiap orang pasti pernah merasakan yang namanya patah hati, entah karena cinta, ambisi, prestasi atau bahkan ekspektasi. Begitu pun aku, bahkan aku sudah merasakan patah hati sebelum sempat berekspektasi. Terdengar miris, kan? Tapi tenang, kalian tidak perlu merasa kasihan padaku. Aku sudah bertahun-tahun mencoba mengikhlaskan dan menerima semuanya. Beras telah menjadi nasi, ya sudah aku tinggal membuat sayur dan lauknya saja supaya jadi enak dan memiliki gizi seimbang. Eh apa, sih?

Aku ingin berbagi sedikit cerita tentang hidupku. Mungkin banyak orang yang mengenalku dan menilaiku sebagai orang yang kuat, tegas dan kadang risk-taker. Ya, aku memang begitu dan semua itu terjadi karena proses kehidupan yang aku alami. Sebelum aku cerita, aku ingin memberi tahu bahwa aku mengetahui ini semua dari orang-orang sekitarku dan telah mengonfirmasi pada yang bersangkutan. Mungkin kalian akan mengira aku membuka aib nantinya, tapi tidak. Aku benar-benar hanya ingin berbagi mengenai penerimaan dan bagaimana waktu dapat mengubah seseorang. Here we go...

Seperti yang kutulis sebagai judul, aku merasakan patah hati sejak aku baru lahir. Kok bisa? Tentu saja bisa karena aku ditinggalkan oleh ayahku sejak masih menjadi janin kecil tak tahu apa-apa. Ayahku pergi begitu saja tanpa pamit pada ibuku dan tak pernah kembali sampai aku duduk di bangku taman kanak-kanak. Aku saat itu adalah anak kecil yang tidak tahu apa-apa yang tentu saja riang dibawakan banyak mainan olehnya dan diberi tahu ibuku "itu bapakmu,". Anak kecil mana yang tidak senang bertemu dengan orang yang hampir setiap hari dipertanyakan keberadaannya?

Singkat cerita, aku mulai tumbuh dan bisa menerima sedikit cerita yang disampaikan oleh ibuku tentang bagaimana ayahku meninggalkan kami. Meski di cerita itu ayahku terkesan sangat buruk dan bajingan, tapi kemudian ibuku bilang, "jangan benci bapakmu, ya. Bagaimanapun juga dia tetap bapakmu dan suatu saat kamu akan membutuhkannya.", aku hanya iya-iya saja pada saat itu. Bersyukur ibuku tidak berusaha memisahkanku dengan ayahku karena sakit hatinya, aku sangat salut.

Ayahku mengunjungiku beberapa kali sampai aku kelas dua sekolah dasar. Aku ingat betul saat dia membawakanku sepeda dan beberapa buah di keranjangnya. Sayangnya, saat itu aku tidak bertemu dengannya karena belum pulang sekolah. Hari demi hari aku menunggunya untuk berucap terima kasih, tapi dia tak pernah datang lagi. Aku sedih, aku marah. Ibuku hanya menangis setiap aku mulai terlelap tidur, aku tahu setiap aku tertidur ibuku selalu mengusap kepalaku dan menangis. Aku pernah berpura-pura tidur dan mendapatinya seperti itu hingga ia tertidur. Aku membuka mata dan menangis dalam diam. Lalu kami terbangun di pagi hari seolah tidak terjadi apa-apa. Aku sakit, hatiku remuk.

Sejak taman kanak-kanak aku selalu iri melihat teman-temanku ditunggu ibunya di luar kelas dan dijemput ayahnya lalu digendong dan diayunkan di udara. Sementara aku? Aku hanya sendiri sebab ibuku bekerja, aku hanya ikut pakdhe-ku yang menjemput kakak sepupuku. Tapi karena aku masih kecil, aku tidak pernah ambil pusing dan senang-senang saja saat itu. Tapi kini, hatiku selalu sakit setiap kali mengingatnya.

Aku bisa bilang bahwa aku masih beruntung, sebab saat itu ada kakekku. Kakekku selalu memanjakan aku dan seperti memberikan figur ayah -orang yang selalu kuinginkan ada di hidupku- untukku. Mengajakku bermain, membawaku bersepeda atau beli jajanan di warung. Saat beliau meninggal, aku kelas empat sekolah dasar. Aku tidak menangis hari itu, tapi esoknya aku mulai merindukannya. Hampir setiap hari.

Oh iya, ngomong-ngomong ibuku menikah lagi saat aku kelas tiga sekolah dasar dan kami pindah ke kota lain. Setahun setelahnya kakekku meninggal dan mengharuskan aku kembali ke kampung halaman untuk menemani nenek. Beruntung, beberapa hari sebelum kakek meninggal aku ada di rumahnya dan masih mendengarnya memanggil namaku untuk yang terakhir kali.

Yang membuatku sedih ketika beliau pergi adalah, aku tidak lagi di rumah yang sama untuk setahun terakhir. Aku tidak bisa mengambilkan minuman dan obatnya seperti sebelumnya. Padahal beliau selalu jadi orang pertama yang membuat tangisanku berubah menjadi senyuman sebelum aku pindah. Sangat sedih...

Kemudian aku tumbuh dewasa tanpa figur ayah lagi. Ayah kandungku entah dimana, kakekku meninggal, ayah tiriku tetap bekerja di kota yang berbeda denganku dan pulang seminggu sekali. Aku tumbuh dewasa hanya dengan ibuku. Aku tumbuh dewasa dengan perasaan sensitif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan ayah, entah film, lagu atau apapun itu. Tidak ada cinta pertama anak perempuan pada ayahnya, tidak ada yang mengajariku bersabar, tidak ada yang membelaku lagi saat ibu memarahiku. Emosiku terpendam sendiri dan menjadikanku perempuan dengan karakter yang suka memendam kemudian sewaktu-waktu meledak-ledak saat kurasa sudah sangat berat.

Singkat cerita, akhirnya aku bisa survive sampai saat ini dengan pencapaian-pencapaian yang bagi ibuku membanggakan. Sampai saat aku kuliah di semester awal -aku lupa tepatnya-, sekitar semester satu atau dua aku dipertemukan kembali dengan ayahku. Sebelum itu aku sempat menunda-nunda karena entah kenapa aku belum merasa siap bertemu dengan ayahku sampai akhirnya aku menyetujui. Saat pertama melihatnya hanya satu yang kupikirkan, "dia tidak berubah seperti sejak terakhir kali aku bertemu.". Aku sempat melihatnya menitikkan air mata saat melihatku lalu pergi sebentar ke kamar mandi dan mencuci wajahnya. Entah apa yang ia rasakan, mungkin sedih? Atau terharu karena aku masih mengingatnya? Sementara aku hanya prihatin melihat keadaan dan tempat tinggalnya saat itu, aku tidak menangis. Bahkan pulang dari sana dan bercerita apa yang dia katakan ke saudaraku aku biasa saja, malah mereka yang menangis. Aku baru menangis malam harinya...

Sampai saat ini aku mengunjungi ayahku setiap sebulan sekali atau dua kali. Dia orang yang cukup open minded dan bisa diajak berdiskusi apa saja. Wajar saja, sebenarnya dia memang sarjana hukum. Oh iya, dia juga mengakui dan menceritakan masa lalunya dengan ibuku, semua ceritanya sama dengan yang diceritakan ibuku. Artinya, ibuku tidak mengada-ada dan menambahi ceritanya. Dia juga minta maaf padaku dan menitipkan maafnya pada ibuku atas apa yang dia perbuat di masa lalu. Aku salut karena dia gentle dengan mengakui kesalahannya di hadapanku. Dia sangat baik. Dia bilang, dia sering lewat depan rumah tapi malu untuk menampakkan dirinya lagi di hadapan ibuku. Malu akan perbuatannya di masa lalu, terlebih takut ditolak mengingat ibuku menikah lagi. Tapi sebenarnya itu hanya asumsinya sendiri dan aku mewajarkan hal itu.

Ini adalah satu dari sekian banyak hal yang membentukku menjadi pribadi yang kuat, tegas dan berani -meski kadang ceroboh-. Aku telah mengalami patah hati dan kegagalan sejak bayi. Itu sebabnya masalah percintaan atau hal apapun tidak akan membuatku menangis semudah itu. Itu sebabnya emosiku sering menjadi-jadi saat realita tidak sesuai ekspektasiku, tidak ada yang mengajarkanku untuk bersabar, aku hanya diajari untuk ikhlas. Saat ini aku sudah menerima semuanya, menerima bahwa hidupku tidak seindah cerita-cerita fairy tale. Aku menyadari bahwa acceptance sangat perlu dimiliki agar bisa tetap berjalan meski aku tahu di belakang dan di depan perjalanan akan selalu ada hal diluar ekspektasi dan bisa saja menjatuhkan. My smile will always be broken, but I'll always be grateful for the chance to get to do what I get to do. Time flies, people change, but future is wait to come.


"Hatiku yang telah patah memang takkan pernah kembali utuh, tapi setidaknya itu membuatku lebih berhati-hati dan menjaganya agar tidak patah lebih parah." - Sajak Sang Pena.

Comments