Pahit Manis Seorang Asertif



Berbicara tentang asertif, maka kita berbicara tentang cara komunikasi. Ada empat tipe dalam cara komunikasi: agresif, pasif, pasif-agresif dan asertif. Ada baiknya jika kita bahas dulu nih perbedaan dari ketiganya.

Agresif adalah dimana orang mengungkapkan apa yang mereka rasakan dan pikirkan dengan percaya diri namun tidak menghargai lawan diskusi. Orang yang agresif akan cenderung dominan dan seenaknya sendiri. Intinya suka memaksakan kehendak tanpa peduli orang lain suka atau tidak.

Pasif yaitu orang yang cenderung diam. Biasanya orang yang pasif cenderung tidak peduli dengan dirinya sendiri. Intinya, asal orang lain senang, dia bakal iya-iya aja deh pokoknya. Kelihatannya memang sekilas baik, tapi bisa jadi dia diam itu bukan berarti dia menghargai, tapi bisa juga tidak peduli.

Pasif-agresif, yaitu dimana orang akan terlihat pasif di luar, namun dalam hatinya penuh emosi dan kebencian. Kebanyakan dari mereka sulit menyatakan, namun pada satu waktu mereka bisa saja mengungkapkan dengan cara yang menyebalkan.

Nah, yang terakhir ini yang menarik, yaitu asertif, yaitu cara komunikasi dimana orang bisa mengemukakan apa yang mereka rasakan dan pikirkan namun tetap dengan cara yang baik dan menghormati hak lawan diskusi. Asertif dilakukan dengan tindakan maupun perkataan yang disampaikan dengan percaya diri.

Kurang lebih begitu. Nah, lalu apa sih pahit manisnya asertif? Kayaknya udah bagus gitu. Iya, sekilas memang bagus, tapi pernah kebayang nggak bagaimana seorang asertif yang moody dan agak gampang terpancing? Ceritanya bisa jadi nggak semudah yang dibayangkan. Well, aku akan bercerita perjalanan cara komunikasiku.

Dulu, aku adalah orang yang berkomunikasi dengan cara pasif-agresif. Yup, karena aku dulu orang yang sulit mengungkapkan, sangat sulit. Aku memilih diam, tapi ketika sesuatu terjadi berulang-ulang dan aku lelah menjadi pasif, maka aku bisa menjadi agresif. Aku akan menggebu-gebu mengungkapkan segalanya dan pergi begitu saja tanpa memikirkan orang lain yang terkena imbas kemarahanku. Kemarahan itu juga bisa mengenai siapapun, bahkan yang tidak tahu apa-apa. Tidak cukup disitu, setelahnya aku akan silent treatment ke semua orang yang berhubungan dengan kemarahan itu. Buruknya lagi, aku bisa membalikkan keadaan dimana seharusnya aku yang salah, tapi aku akan membuat situasi seakan-akan orang lain yang salah. Toxic banget, ya? Itu bertahan hingga aku semester tiga kuliah dan perlahan-lahan mulai berkurang hingga saat ini menghilang karena banyak sekali hal yang terjadi di hidup ini.

Sejak kecil, aku anak yang pasif. Dicontekkin di sekolah diam, padahal nggak ikhlas. Dimarahin di rumah cuma nangis, karena ngomel balik akan makin dimarahi. Dicurangi diam, padahal dongkol mampus. Sejak SMP, barulah aku mulai kombinasi dari pasif-agresif ini karena pergaulan juga dimana teman-teman SMP cukup blak-blakan. Aku nggak peduli tuh temanku nangis karena nggak aku kasih contekkan dan masih banyak lagi, sih. Sepertinya agak aib juga ya kalau diceritakan semua, hehehe. Sikap ini masih bertahan hingga aku awal-awal kuliah nih. Aku demanding ke teman atau pasangan. Pokoknya nggak mau banget kalau mereka nggak ngikutin apa yang aku mau. Pokoknya kalau nggak sesuai ekspektasi aku akan marah-marah atau silent treatment, padahal aku nggak pernah bilang secara clear apa yang aku mau. Asli deh, toxic banget pokoknya.

Nah, sifat toxic itu perlahan-lahan memudar ketika aku mulai menyadari banyak teman yang pergi, banyak kekecewaan yang terjadi dan banyak energi terbuang hanya untuk hal yang sia-sia. Akhirnya mulailah aku intrispeksi diri sekitar semester tiga, sejak aku mulai memasuki dunia kepanitiaan dan organisasi. Aku mulai paham bahwa setiap lingkungan harus diperlakukan dengan cara berbeda dan itu semua perlu kompromi. Namun, yang membuatku banyak berubah sejujurnya adalah introspeksi season 2, yaitu sekitar Oktober 2018 sampai sekitar akhir September 2019 meski sisa-sisa agresif itu masih terkadang muncul, bahkan hingga hari ini, Bedanya adalah sekarang ini aku lebih bisa mengontrol diri dan ego, sehingga sifat agresif itu masih bisa dikendalikan di banyak situasi. Lalu, apakah ketika aku menjadi asertif semuanya jadi lebih mudah? Oh ternyata tidak, kawan-kawan. Karakter bawaanku yang moody dan mudah tersulut ini kadang mempersulit diriku pada beberapa kompromi.

Sebelum menulis ini, aku sempat meminta pendapat teman-teman tentang diriku. Aku meminta mereka untuk memberikan hal positif dan negatif dariku. Ternyata, sikap asertif dalam komunikasi yang aku miliki masih ada yang menganggap bahwa itu bisa menjadi hal negatif ketika aku menyatakan apa yang aku rasakan. Kebanyakan dari mereka menganggap bahwa yang aku sampaikan tidak bisa didebat, padahal mereka boleh banget melakukan pembelaan supaya kita kompromi dan menemukan win-win solution. Jadi, kadang aku harus mengatakan lagi bahwa mereka bisa mendebat apa yang aku katakan atau lakukan. Aku harus menjelaskan berulang-ulang bahwa mereka sangat boleh memberikan kritik atau saran untukku dan aku pasti banget akan mempertimbangkan pendapat mereka juga. Tapi mungkin, mereka tidak melakukannya karena menganggap aku mudah tersulut. Hal ini sedikit-banyak membuatku paham bahwa kontrol diri sangat penting dan akhirnya tidak menjadi masalah bahwa aku harus mengatakan berulang kali jika mereka boleh memberikanku kritik maupun saran atas sikap atau perkataanku.

Namun meski begitu, lebih banyak yang mengatakan bahwa bagi mereka, aku bisa menyampaikan apa yang aku mau dengan cara yang baik dan tidak menyakiti hati lawan bicaraku. Bagiku ini poin penting yang membuatku berani self proclaim bahwa aku berkomunikasi dengan cara asertif. Sebab, lebih banyak dari teman-teman yang berpendapat bahwa ini merupakan poin positif dibandingkan negatif. Poin positifnya menjadi asertif adalah bahwa aku tidak membuat orang lain kesulitan menerka-nerka apa yang aku mau dan mereka akan memperlakukan aku sesuai ekspektasiku. Meski tidak selalu sesuai, itu wajar karena aku pun memahami bahwa orang tidak selalu dalam kondisi emosional yang stabil. Hal sulit lain yang muncul dari kombinasi asertif, moody dan mudah tersulut adalah akan ada momen susah menerima kenyataan bahwa orang lain tidak selalu stabil. Pikiran toxic seperti "apa, sih orang ini. Kan aku udah bilang berkali-kali aku maunya gini, kenapa masih kayak gini, sih." akan muncul, padahal aku tahu bahwa orang ini kondisinya lagi kacau juga. Karakter moody dan mudah tersulutku ini yang kadang membuatku terlihat agak egois. Tapi, kontrol ego adalah yang paling sulit kulakukan sampai saat ini, sangat sulit.

Sebenarnya itu saja, sih pahit manisnya. Kompromi dengan orang lain yang memiliki persepsi berbeda yang harus selalu diluruskan, kondisi orang lain yang tidak selalu stabil dan kontrol diri sendiri yang sulit dilakukan menjadi kepahitan tersendiri dalam proses komunikasi ini. Pada akhirnya, kita harus menerima bahwa kita tidak bisa menyenangkan semua orang dengan konsekuensi tidak semua orang bisa menyenangkan kita pula. The most important thing is acceptance, still.


"If we don't change, we don't grow. If we don't grow, we arent really living" -Gail Sheehy

Source: https://online.alvernia.edu/articles/4-types-communication-styles/

Comments