Trauma and how i deal with it.



"The paradox of trauma is that it has both the power to destroy and the power to transform and resurrect."
-Peter A. Levine

Di setiap fase kehidupan, tentu kita pernah mengalami beberapa hal buruk dan membuat kita takut menghadapi sesuatu dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Yup, terdengar menakutkan memang. Hal semacam ini seringkali membuat kita paranoid terhadap beberapa peristiwa bahkan fobia dengan hal tertentu. Memang tidak semua orang mengalami hal buruk hingga mengalami trauma, tetapi tidak sedikit juga yang trauma hingga mereka tua. Lalu, apa trauma yang aku hadapi? Hmm here we go...

Banyak orang memandang aku sebagai orang yang kuat karena mampu break the rules di beberapa hal serta memiliki self-development yang bagus. Sejujurnya, hal itu terjadi tidak serta merta karena aku pemberontak dan sebaik itu dalam mengembangkan diri. Hal ini timbul secara alami karena trauma yang aku miliki. Tidak sedikit trauma yang aku miliki dalam hidup.

Aku memiliki trauma dalam menjalin sebuah hubungan. Aku orang yang skeptis terhadap segala hal. Ini sebabnya aku sangat jarang memiliki hubungan spesial dengan lawan jenis atau berhubungan dalam waktu yang lama. Aku pun jarang jatuh cinta kepada lawan jenis, jujur saja aku jatuh cinta baru dua kali dan keduanya tidak bisa aku miliki. Tentu saja itu membuatku agak insecure dan menambah ketidakpercaya dirianku untuk menjalin hubungan. Lalu bagaimana dengan hubungan yang aku jalani? Itu aku mencintai secara logika, bukan perasaan. Mungkin terkesan jahat, tapi itulah kenyataannya. Jika mantanku membaca ini tidak masalah, mereka pun sudah mengetahui hal ini.

Selain itu, aku takut mengalami kegagalan dalam berkomitmen. Bahkan, saat teman-temanku ingin menikah di usia 23 hingga 25, aku baru menyatakan keberanian untuk itu di usia 25 tahun atau lebih. Trauma ini timbul karena konflik dalam keluargaku yang tidak mungkin aku ceritakan di sini. Konflik-konflik keluarga yang terjadi dihidupku menumbuhkan krisis kepercayaanku terhadap orang lain yang memberikan efek domino dan berakhir pada ketakutanku dalam berkomitmen. Intinya, aku tidak ingin dikhianati dan aku tidak ingin anak-anakku nanti menderita seperti aku.

Aku juga memiliki trauma dalam pertemanan. Jika kamu melihatku punya banyak teman dan mudah bergaul, oh please... itu hanya haha-hihi dan tidak semuanya memenuhi definisi teman versiku. Aku membuka pertemanan dengan siapa saja, tapi kepercayaanku tidak bisa kuberikan pada siapa saja. Jika kamu sudah mendengar ceritaku tentang banyak hal melalui deep talk pun itu mungkin baru kulit-kulitnya saja, belum semua. Tapi jika aku telah bercerita mengenai keluargaku, oh dude, you;re truly my friend.

Traumaku terhadap pertemanan timbul sejak aku SD ketika orang yang aku anggap sahabat mengkhianatiku dengan hal -yang menurutku- tidak mungkin dilakukan oleh seorang sahabat, dan berulang saat SMP. Sakit bukan main rasanya. Selain itu juga saat SMA ketika aku di-bully oleh teman sekelas dengan akar masalah yang tidak sepenuhnya salahku sampai aku pindah sekolah. Jujur saja, itu rasanya sangat menyedihkan. Jika kamu ingin tahu bagaimana aku di-bully, kamu bisa baca disini. Ini yang paling berperan menumbuhkan traumaku terhadap pertemanan dan sempat membuatku dejavu beberapa hari yang lalu.

Lalu bagaima aku menangani trauma-trauma itu?
Berbicara soal menangani trauma, ini adalah hal yang sangat tidak mudah dan seringkali membayang-bayangiku saat hendak terlelap. Seharusnya malam hari adalah waktu yang tepat untuk berandai-andai dan membuat life-mapping untuk masa depan, tapi semakin aku melakukannya, bayang-bayang kegagalan selalu menghantui. Sangat menakutkan.

Namun sayangnya aku bukan tipe orang yang mudah menyerah dan menerima kekalahan atas traumaku sendiri. Aku tetap melakukan life-mapping untuk hidupku dimasa depan. Semakin hari aku semakin melawan bayang-bayang trauma sialan itu, dan guess what? Perlahan-lahan aku berhasil menghapus bayang-bayang itu. Memang sampai saat ini belum hilang sepenuhnya dan kadang masih menimbulkan ketakutan. namun setidaknya aku tidak kalah dengan masa laluku yang bahkan sudah berlalu.

Tentang pertemanan, aku mengatasi hal ini dengan menghindari lingkungan yang menurutku tidak baik, atau bahasa edgy-nya: toxic. Ya, aku lebih memilih menghindari. Kenapa tidak melawan? Jujur, trauma atas pengkhianatan dan bullying yang pernah kualami masih sangat membekas dan bisa meradang jika dipancing dengan hal berbau bullying, meski bukan aku korbannya. Aku takut melawan karena tidak siap jika perlawananku menjerumuskanku kembali menjadi korban bully. Aku tidak siap, aku masih takut. Itu menyakitkan. Aku juga mengalami bully belum lama, baru lima tahun silam. Waktu yang tidak cukup membuatku benar-benar berdamai. Berbeda dengan konflik keluarga yang aku alami bahkan sejak bayi dan aku sudah terbiasa. Tapi bully? Aku belum terbiasa. Luka itu masih belum sepenuhnya kering.

Jika sekarang kamu mengenalku sebagai pribadi yang kuat dan tidak mudah rapuh, mungkin kamu benar. Bahkan mungkin perasaanku hampir mati saat ini, logika yang kini mendominasiku. Aku memiliki tekat untuk memperbaiki hidupku setiap detiknya, aku tidak ingin berlarut-larut menjadi manusia yang kalah dengan masa lalu. Bagiku tidak masalah aku menderita, asal tidak dengan orang-orang yang aku sayangi, termasuk partner dan anak-anakku di masa depan.

How I deal with my traumatic? Ya benar, dengan tidak membiarkan anak-anakku merasakan hal yang sama. Maka aku membuat life-mapping sebaik mungkin dan tentunya akan mencetak mental mereka untuk menjadi orang yang asertif, tidak sepertiku yang dahulu submisif yang bisanya naif dan tidak sepertiku saat ini yang justru menjadi agresif. Tentunya dengan diimbangi diriku yang harus terus berkembang agar mengimbangi mereka yang aku cetak menjadi asertif. Selain itu, aku juga akan mengajarkan mereka agar tidak menjadi manusia yang toxic agar tidak menyakiti orang lain. Memang akan sulit jika asertif dan tidak toxic untuk dikombinasikan karena dalam beberapa kasus agak bertolak belakang, tapi bukan berarti tidak mungkin.

Traumaku akan terbayar impas dengan cara mencegah orang-orang yang aku sayang merasakan trauma yang aku miliki. Perjuanganku melawan trauma akan worth it dengan melihat mereka bahagia dan mempunyai hidup yang baik. Tujuanku menulis hal ini adalah sebagai pengingat jika suatu saat aku salah langkah, juga mungkin menjadi pembelajaran bagi orang-orang untuk tidak mudah menyakiti orang lain. Sebab dampaknya bisa seumur hidup, lukanya sampai mati.

Bagi kamu yang sedang berperang dengan trauma, trust me. It's ok to be sad, it's ok to be angry, cry and feel bad. It's truly normal. But, please promise me that you will be fine as soon as possible. Remember, eventhough we have bad past, our future still waiting for us! Cheer up!

"No matter what has happened to you in the past or what is going on in your life right now, it has no power to keep you from having an amazingly good future if you will walk by faith in God. God loves you! He wants you to live with victory over sin so you can possess His promises for your life today!"
-Joyce Meyer

Sincerely,
Sajak Sang Pena

Comments